Sky Full of Cloud: Langit Makin Mendung dan Kontroversinya

Namun rakyat tidak heran atau marah. Seakan sudah jamak seorang presiden harus bohong dan buka mulut seenaknya. Rakyat Indonesia rata-rata memang pemaaf dan baik hati. Kebohongan dan kesalahan pemimpin selalu disambut dengan dada lapang.

Hati mereka bagai mencari, betapa pun langit makin mendung, sinarnya tetap ingin menyentuh bumi.

Kalimat di atas adalah cuplikan dari cerpen Langit Makin Mendung karangan Ki Panji Kusmin yang dimuat dalam majalah Sastra tahun ke VI no.8 edisi Agustus 1968. Majalah Sastra adalah majalah yang memuat karya-karya sastra seperti cerpen, puisi, dan essai yang terbit bulanan. Majalah ini dipimpin oleh HB Jassin sebagai pemimpin redaksi.

Majalah Sastra mulai menuai kecaman setelah memuat cerpen Langit Makin Mendung karya Ki Panji Kusmin tersebut, dimana isi dari cerpen tersebut dianggap SARA dan menghina suatu agama tertentu dengan cara penggambaran atau menampilkan tokoh utama dengan nama “Muhammad dan Jibril” serta tokoh-tokoh lain seperti “Adam, Sulaiman, dan Buroq”.

Cerpen ini sendiri merupakan sebuah sindiran satir mengenai kebobrokan politik dan moral bangsa Indonesia, sehingga membuat cemas para nabi penghuni surga. Perasaan gelisah yang dirasakan Ki Panji Kusmin diwujudkan dengan cerita bahwa Muhammad dan Jibril turun ke Bumi, terutama Jakarta untuk melihat kemerosotan moral yang terjadi di negeri yang hampir sebagian besar penduduknya adalah penganut Islam.

Kritik pemerintah atau Penistaan agama?

Kekacauan kondisi politik Indonesia pasca tragedi Gestapu juga menjadi sebuah pokok cerita yang ingin ditangkap oleh Ki Panji Kusmin. Kritik keras disampaikan terhadap rezim Orde Lama yang terlalu condong ke Blok Timur, beberapa kali dalam cerita disebutkan kata-kata seperti “Kawan Mao” serta bantuan-bantuan yang diberikan Tiongkok terhadap rezim Orde Lama. Ki Panji Kusmin layaknya sangat jengah dengan semakin mendapat tempatnya orang-orang Komunis di samping pemimpin bangsa.

Paginya Menteri Kesehatan yang tetap bungkem dipanggil menghadap Presiden alias PBR.

“Zeg, Jenderal. Flu ini bikin mati orang apa tidak?”

“Tidak, Pak.”

“Jadi tidak berbahaya?”

“Tidak Pak. Komunis yang berbahaya, Pak!”

“Akh, kamu. Komunisto-phobi, ya!”

Nyatanya Soekarno memang lebih condong ke Blok Timur, dengan pemikirannya seperti Nasakom (Nasionalis Agama Komunis). Hal tersebut sepertinya menjadi sebuah bumerang sendiri bagi Presiden Soekarno karena ada beberapa pihak yang tidak setuju dengan Nasakom atau dengan komunisnya sendiri! Bahkan dalam cerpen ini penulis seperti kurang simpati dengan Soekarno dibuktikan dengan menuliskan bahwa Soekarno adalah nabi palsu.

Soekarno sendiri bukan penganut komunis, ia terbawa suasana ketika terjadi konfrontasi dengan Malaysia yang kemudian kita kenal dengan jargon Ganyang Malaysia. Tentara AD yang dibawah komando Jenderal Achmad Yani juga terlihat ogah-ogahan untuk mengganyang karena nantinya akan berbenturan langsung dengan Inggris yang menyokong Malaysia. Sementara Amerika Serikat juga enggan membantu seperti yang diungkapkan oleh duta besarnya Howard Jones. Di sisi lain Jendral Nasution mendukung gerakan tersebut dengan dalih adanya isu yang menyatakan bahwa Ganyang Malaysia akan dijadikan kendaraan untuk menjadikan PKI sebagai gerakan nasionalis yang melebihi TNI Angkatan Darat.

Oleh karena keragu-raguan dari TNI AD untuk melakukan ganyang Malaysia, sehingga membuat Soekarno condong ke PKI. Kemudian muncullah wacana didirikannya “Angkatan Kelima” dimana buruh dan petani dipersenjatai.

“Ada apa malam-malam panggil saya? Ada rejeki nih!” Duta Cina itu sudah pintar ngomong Indonesia. Dan PBR senang pada kepintarannya.

“Betul, kawan. Malam ini juga kau harus pulang ke negeri leluhur. Dan jangan kembali kemari sebelum dibekali oleh-oleh dari Chen Yi. Ngerti tuh?”

“Buat apa bom atom, sih?” Duta Cina mengingat kembali instruksi dari Peking, “tentaramu belum bisa merawatnya. Jangan-jangan malah terbengkalai jadi besi tua dan dijual ke Jepang. Akh, sahabat Ketua Mao; lebih baik kau bentuk angkatan kelima. Bambu runcing lebih cocok untuk rakyatmu.”

Hal tersebut dipertegas dengan kunjungan Menteri Luar Negeri Subandrio ke Tiongkok yang menghasilkan bahwa PM Zhou Enlai menjanjikan 100.000 pucuk senjata gratis tanpa syarat ke Indonesia.

Nekropolitan?

Tak hanya mengkritisi dan menceritakan mengenai gejolak politik yang terjadi, cerpen Langit Makin Mendung juga menceritakan mengenai borok ibukota. Setting cerita adalah di Jakarta pada pertengahan tahun 60-an, fakta-fakta mengenai dunia perlendiran di daerah Pasar Senen diceritakan secara detail oleh Ki Panji Kusmin. Mulai dari para tuna susila dan bahaya laten prostitusi yang mulai mengganas. Keberadaan copet-copet kelas teri juga menjadi salah satu cerita menarik tersendiri. Bahkan, Ki Panji Kusmin secara lantang berani menuliskan mengenai penyalahgunaan wewenang jabatan para pegawai-pegawai pemerintahan dalam cerpen Langit Makin Mendung ini.

  Di depan toko buku ‘Remaja’ suasana meriak kemelut, ada copet tertangkap basah. Tukang-tukang becak mimpin orang banyak menghajarnya ramai-ramai. Si copet jatuh bangun minta ampun meski hati geli menertawakan kebodohannya sendiri: hari naas, ia keliru jambret dompet kosong milik kopral setengah preman. Hari naas selalu berarti tinju-tinju, tendangan sepatu dan cacian tak menyenangkan baginya. Tapi itu rutin–. Polisi-polisi Senen tak acuh melihat tontonan sehari-hari: orang mengeroyok orang sebagai kesenangan. Mendadak sesosok baju hijau muncul, menyelak di tengah. Si copet diseret keluar dibawa entah kemana.

Jika dilihat secara isi, cerpen dari Ki Panji Kusmin yang berjudul Langit Makin Mendung merupakan keluh kesah dari sang penulis mengenai realita intrik politik dan kemerosotan moral bangsa Indonesia sehingga ia mengandaikan bahwa para penghuni surga sampai gelisah hingga turun ke bumi untuk melihat secara langsung. Penggunaan kalimat-kalimat yang lugas dan penuh dengan sindiran satir mengindikasikan bahwa sang penulis memang sudah mulai jengah dengan kondisi saat itu.

Banyak tokoh-tokoh politik kenamaan yang ditulis dalam cerpen Langit Makin Mendung ini:

Soekarno digambarkan seolah sebagai nabi palsu yang pesakitan yang ingin menyegerakan ambisinya untuk menganyang negara tetangga yang telah menghina bangsa. Soebandrio, menjabat sebagai Menteri Luar Negeri dan pimpinan BPI dinilai sebagai Durna dan juga Togog oleh sang penulis karena ambisi besarnya dalam politik setelah penemuan Dokumen Gilchrist. Ada juga Ahmad Yani yang dinilai Soekarno sebagai Jendral terbaiknya.

Dalam cerpen ini juga ditunjukkan betapa beragam suku-suku bangsa yang menduduki jabatan menteri, Johannes Leimena berasal dari Ambon Maluku sebagai Menteri Perguruan Tinggi dan Ilmu Pengetahuan Indonesia dan Frans Seda dari Flores NTT yang menjabat sebagai Menteri Pertanian.

Itu Pak Leimena di sana (menunjuk seorang kurus kering). Dia lebih suka makan sagu daripada nasi. Lihat Pak Seda bertubuh tegap (menunjuk seorang bertubuh kukuh mirip tukang becak), dia tak bisa kerja kalau belum sarapan jagung.” 

What If

Namun, harga mahal harus dibayarkan. Penggunaan nama Muhammad dan Jibril dalam cerpen membuatnya tersangkut masalah penistaan agama. Sehingga membuat HB Jassin sebagai pemimpin redaksi dipanggil oleh Pengadilan untuk mengngkapkan siapa sebenarnya Ki Panji Kusmin.

HB Jassin enggan untuk mengungkapkan siapa orang dibalik nama Ki Panji Kusmin. Hingga membuat HB Jassin harus mendekam di dalam kurungan penjara selama satu tahun dengan masa percobaan dua tahun dan dilarang menerbitkan sesuatu yang berhubungan dengan sastra selama satu tahun. Dalam pledoinya, HB Jassin mengungkapkan bahwa “kami telah dilaintafsirkan dan karena perlainan tafsir itu orang mengira kami telah menghina mereka, menghina kepercayaan mereka yang adalah kepercayaan dan keyakinan kami juga. Kami dengan tulus ikhlas meminta maaf kepada mereka yang menganggap kami telah menghina, dan kami pun memohon maaf kepada Allah Maha Kuasa yang kamu tahu adalah Maha Pengampun dan Maha Pemaaf”. Upaya HB Jassin tidak menguak siapa sosok dibalik Ki Panji Kusmin semata karena ia mengahargai karya imajinasi pengarang.

Rasanya jika karya sastra hasil imajinasi seseorang dituntut secara hukum memang ada sesuatu yang kurang relevan. Bayangkan jika cerpen Langit Makin Mendung ini terbit di era sekarang, mungkin akan diserbu oleh ormas-ormas Islam yang radikal. Atau bahkan juga bisa terjadi kasus penembakan seperti yang menimpa kantor pusat majalah Charlie Hebdo di Prancis yang menyebabkan 12 orang tewas. Charlie Hebdo sendiri merupakan media yang memang anti agamis serta menggunakan gaya bahasa yang cenderung formal.

Tentunya kedua kasus ini sangat jelas berbeda, majalah Sastra memang memuat karya-karya sastra seperti cerpen; essai; dan puisi, sedangkan Charlie Hebdo memang majalah satir yang anti agamis dan memojokkan agama-agama tertentu dalam ulasannya.

Jika cerpen ditulis ulang dan disesuaikan dengan kondisi sekarang serta penggantian nama tokoh, apakah nanti akan berganti judul menjadi Langit Sudah Tak Mendung atau Langit Makin Mendung Sekali? Ini masih menjadi sebuah misteri.

sumber gambar: HB Jassin saat disidang (Perpusnas)

Leave a comment

Create a website or blog at WordPress.com

Up ↑